Mengatasi Duka di Tengah Pandemi: Panduan Melewati Masa Sulit
2 bulan yang lalu - By Nabilah
Pandemi COVID-19 benar-benar mengubah hidup kita dan kebanyakan perubahan ini nggak menyenangkan. Kehilangan kontak sosial, aktivitas luar ruang, pekerjaan, bahkan yang paling berat, kehilangan orang-orang terkasih. Di Indonesia saja, lebih dari 100 ribu orang meninggal akibat COVID-19. Menurut sebuah studi di Amerika Serikat, setiap kematian akibat COVID-19 menyebabkan duka bagi setidaknya sembilan orang. Fenomena ini disebut bereavement multiplier, yang kalau kita terapkan di Indonesia, ada sekitar satu juta orang yang mungkin sedang berduka.
Berduka adalah respons alami terhadap kehilangan yang mendalam, terutama setelah kehilangan orang yang kita sayangi. Ini bukan hanya tentang rasa sedih, tapi juga bisa memengaruhi pola tidur, nafsu makan, konsentrasi, bahkan kondisi fisik kita. Meskipun terlihat mirip, berduka itu berbeda dengan depresi dan kecemasan, yang sudah pernah saya bahas di episode sebelumnya.
COVID-19 membuat duka lebih dalam karena kita nggak hanya kehilangan seseorang, tapi juga harus beradaptasi dengan perubahan hidup yang begitu drastis. Yang perlu dipahami, berduka itu wajar, dan nggak ada cara yang benar atau salah dalam menjalaninya. Beberapa orang mungkin merasakan cemas, sedih, marah, merasa bersalah, atau bahkan menutup diri. Di sisi lain, ada juga yang bisa menghadapinya dengan baik. Menurut Juli AC Milan, seorang psikoterapis, untuk bisa sembuh dari duka, kita perlu mengizinkan diri untuk merasakan semua kesedihan dan rasa sakit itu.
Rata-rata, seseorang mulai bangkit dari kedukaannya setelah enam bulan. Tapi itu bukan berarti rasa dukanya hilang sepenuhnya, ya. Hanya saja, mereka sudah bisa kembali menjalani hidup dengan normal. Justru, semakin kita menolak untuk merasakan duka, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bangkit.
Secara ilmiah, berduka itu bukan hanya soal perasaan, tapi juga berkaitan dengan kondisi fisik. Rosalind menemukan bahwa saat seseorang mengingat orang yang sudah meninggal, area otak yang terlibat dalam emosi dan memori, seperti posterior dan anterior cingulate cortex serta medial prefrontal cortex, ikut teraktivasi. Bahkan, area yang teraktivasi saat berduka serupa dengan ketika kita merasakan sakit fisik. Makanya, nggak heran kalau kamu juga bisa merasa lelah, sesak napas, atau nyeri di tubuh saat sedang berduka.
Bagaimana caranya keluar dari suasana berduka? Pertama-tama, kamu perlu mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaanmu. Curhat ke teman atau menulis jurnal bisa membantu mengolah pengalaman traumatis dan meredakan ketegangan. Penelitian menunjukkan, menulis rutin tentang apa yang kita rasakan dapat meningkatkan kualitas tidur, suasana hati, bahkan sistem imun.
Cara lain yang bisa kamu coba adalah meditasi, latihan pernapasan, olahraga rutin, atau melakukan aktivitas yang kamu sukai. Berduka itu adalah proses, dan seiring berjalannya waktu, perasaanmu akan berubah. Tapi kalau kamu merasa duka mulai mengganggu kehidupan sehari-harimu, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.
Buat kamu yang punya orang terdekat yang sedang berduka, hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah mendengarkan. Kadang, mereka hanya butuh seseorang yang bisa mendampingi dan memastikan bahwa mereka nggak sendiri.
Pandemi ini telah mengajarkan kita betapa berharganya kesehatan dan kehadiran orang-orang yang kita sayangi. Jadi, yuk kita jaga kesehatan dan patuhi protokol pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, dan vaksinasi. Melindungi diri sendiri sama saja dengan melindungi orang-orang yang kita sayangi.